TUGAS HYGIENE INDUSTRI
HEALTH
HAZARD HEAT STRESS CONTROL
DISUSUN
OLEH
RENY
SYIAMSIATUN
NIM.
2010 31 208
PROGRAM
STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS
ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya
dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Hygiene Industri yang berjudul HEALTH HAZARD HEAT STRESS CONTROL.
Penulisan
Tugas ini ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi tugas online Hygiene
Industri. Saya Menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit dalam menyelesaikan tugas ini. Oleh karena itu saya
mengucapkan terima kasih kepada :
- Bapak Idrus Jus’at PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul
- Ibu Intan Silvana Mustika, MPH selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
- Bapak Latar M. Arief, MSc, selaku Dosen mata kuliah Hygiene Industri fakultas Kesehatan Masyarakat jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Industri
Akhir
kata, saya berharap kepada ALLAH SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang membantu. Semoga Tugas ini bisa bermanfaat untuk saya khususnya dan
teman-teman saya pada mata kulian ini.
Jakarta,
Maret 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tekanan
Panas atau Heat stress adalah batasan
kemampuan penerimaan panas yang diterima pekerja dari kontribusi kombinasi
metabolism tubuh akibat melakukan pekerjaan dan factor lingkungan ( seperti
temperature udara, kelembaban, pergerakan udara, dan radiasi perpindahan panas)
dan pakaian yang digunakan. Keadaan heat stress ringan atau sedang dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman, dan berakibat buruk terhadap penampilan kerja
dan keselamatan, meskipun hal ini tidak menimbulkan kerugian dalam hal
kesehatan pekerja.
Pada
saat heat stress mendekati batas toleransi tubuh, resiko terjadinya kelainan
kesehatan menyangkut panas akan meningkat. (ACGIH, 2001)
Menurut
Worksafe BC (2007) banyak variabel
yang berkontribusi terhadap terjadinya heat stress, yaitu :
a. Lingkungan
yang terdiri atas temperatur udara, pergerakan udara, kelembaban, dan radiasi
panas
b. Pekerja,
termasuk terjadinya aklitimasi, jumlah cairan, pakaian, dan keadaan kesehatan
pekerja
c. Pekerja,
berupa beban kerja, waktu kerja. Untuk mencegah terjadinya heat stress, pekerja
dan majikan harus mampu mengidentifikasi semua sumber panas dan memahami
bagaiman tubuh memindahkan panas.
OSHA
(Occupational Safety & Health
Administration) dalam Techical Manual
nya mengatakan pekerjaan yang menyangkut temperatur udara yang tinggi, radiasi
sumber panas, kelembaban yang tinggi, kontak fisik langsung dengan objek panas,
atau aktifitas fisik yang berat memiliki potensi tinggi dalam menimbulkan heat
stress pada pekerja yang terlibat dalam kegiatan kerja tersebut, seperti pada pekerjaan
pengecoran besi, pengecoran logam lain, pembakaran batu bata dan keramik,
pabrik gelas atau kaca, pabrik pengolahan bahan karet, perlengkapan listrik,
dapur, pabrik gula-gula, oven, pengalengan makanan, dapur komersil, binatu,
peleburan, dan lain-lain. Selama
aktivitas pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan
reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan dengan
menyeimbangkan antara panas yang diterima luar tubuh dengan kehilangan panas
dari dalam tubuh. Menurut Suma’mur (1984) dan Priatna (1990) dalam
Tarwaka(2004) bahwa suhu tubuh manusia dipertahankan hamper menetap oleh suatu
pengaturan suhu. Suhu menetep ini dapat dipertahankan akibat keseimbangan
diantara panas yang dihasilkan dari metabolisme tubuh dan pertukaran panas
diantara tubuh dan lingkungan sekitarnya.
Menurut
Bernard (1991) Tarwaka 2004, dalam
Hikmah (2008) produksi panas di dalam tubuh tergantung dari kegiatan
fisik tubuh, makanan gangguan system pengaturan panas seperti dalam kondisi
demam dan lain-lain. Selanjutnya factor-faktor yang menyebabkan pertukaran
panas diantara tubuh dan lingkungan sekitarnya adalah panas konduksi, panas
konveksi, panas radiasi, dan panas penguapan.
BAB II
HEALTH HAZARD HEAT
STRESS CONTROL
I.
Risk Assesment (
Penilaian resiko iklim kerja panas di tempat kerja )
Manajemen risiko K3.
Risiko K3 sendiri muncul dari adanya hazards. Hazard(s) didefinisikan sebagai “source,
situation, or act with a potential for harm in terms of human injury or ill
health, or a combination of these”. Dari definisi ini juga terlihat bahwa
risiko yang dimanage termasuk risiko kesehatan (risiko terhadap terjadinya ‘ill
health’). Ill health sendiri didefinisikan sebagai “identifiable,
adverse physical or mental condition arising from and/or made worse by a work
activity and/or work-related situation”. Dalam konteks ini maka risiko yang
dibahas adalah potensi penyakit yang muncul akibat pekerjaan atau yang
dipengaruhi oleh faktor pekerjaan.
Namun sayangnya, dalam
proses hazard identification and risk
assessment, risiko
kesehatan masih menjadi anak tiri. Misalnya saja ketika melakukan HIRA mengenai
pengoperasian mesin pemotong rumput, maka risiko yang diidentifikasi akan
berfokus kepada terkena blade, terpantul kerikil. Namun jarang yang
mengidentifikasi risiko munculnya gangguan neuromuscular pada tangan akibat hazard:
hand arm vibration; atau munculnya hearing
loss akibat hazard:
noise.
Pada dasarnya Health
Risk Assessment (HRA)
secara konsep sama dengan HIRA Safety secara umum. Jadi dengan menilai
kombinasi likelihood dan consequence suatu potensi ill
health yang
diakibatkan oleh suatu hazard. Yang membedakannya hanyalah pendekatan terhadap
hazards. Dalam safety, hazards muncul dari faktor elektrik, mekanis, kinetis,
dll. Sedangkan aspek kesehatan hazards dilihat sebagai faktor fisika, biologi,
kimia, ergonomic, dan psikososial. Kemudian dalam pendekatan terhadap risiko
potensi yang terjadi pada safety, yang diidentifikasi adalah ‘cedera atau
injury’ yang muncul bersifat akut sedangkan pada kesehatan, yang diidentifikasi
adalah ‘gangguan fungsi atau munculnya suatu penyakit’ sehingga lebih bersifat ‘long-term’.
Pada HRA, memang
dibutuhkan satu hal yang lebih spesifik yaitu kemampuan menilai ‘proses
interaksi antara manusia dengan alat, material, dan lingkungannya’. Pada HRA
prosesnya dimulai dengan melakukan ‘desk study’ terhadap proses kerja yang ada di
tempat kerja. Pada tahap ini assessor melakukan identifikasi yang bersifat‘forecast’ terhadap pekerjaan yang ada di
tempat kerja. Assessor melakukan document review termasuk terhadap blueprint
fasilitas, prosedur kerja, dan material safety data sheet atas bahan-bahan yang
dipakai. Fase ini dikenal juga sebagai tahap ‘anticipation’. Tahap
berikutnya adalah melakukan ‘recognition’ di
tempat kerja untuk melakukan identifikasi dan konfirmasi atas hazard yang
diidentifikasi pada fase sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan melakukan ‘walk
trough survey’ di
tempat kerja dengan melakukan penelusuran secara sistematik di tempat kerja.
Pada kondisi ini, assessor harus mengidentifikasi :
(1) ‘what’-apa
saja hazard yang ada di tempat kerja,
(2) ‘who’-siapa
saja yang terpapar hazard ini,
(3) ‘when’-kapan
dan seberapa lama paparan dapat terjadi,
(4) ‘where’-
dimana bahaya muncul dan dimana paparan akan terjadi
(5) ‘how’-
bagaimana paparan itu terjadi
Kemudian
tahap berikutnya adalah melakukan ‘evaluasi’ terhadap risiko dengan menilai
nilai ambang batas. Penilaian bisa dilakukan dengan cara langsung yaitu
mengukur terhadap ‘dose’ hazard yang diterima personel dengan alat ukur, atau
dengan cara matematis yaitu dengan melakukan perhitungan berdasarkan NAB yang
telah ditetapkan.
Setelah
melakukan hal ini dilakukan maka langkah berikutnya adalah tahap menentukan
langkah-langkah pengendalian dan penanggulangan yang akan dijalankan.
Pendekatannya dapat menggunakan hirarki control sebagaimana pada HIRA Safety
yaitu: Eliminasi, Substitusi, Engineering, Administration, dan PPE. Namun
fokusnya diarahkan kepada tiga hal yaitu:
(1) Pengendalian di tempat asal hazard (‘source’)
(2) Pengendalian di jalur atau mode paparan (‘exposure’)
(3) Pengendalian pada orang yang terpajan (‘host’)
Setelah
melakukan hal ini langkah berikutnya dalah dengan melakukan komunikasi dan
konsultasi hasil HRA ini kepada semua pihak terkait dengan focus kepada bagaiaman
pekerja mengenali bahaya ini, risiko apa yang dihadapi, dan bagaimana cara
penanganannya. Proses komunikasi dapat dilakukan dengan menempatkan rambu dan
marka, label dan tanda terkait dengan bahaya dan risiko ini.
Kemudian
langkah terakhir adalah dengan melakukan monitor dan review terhadap
pelaksanaan langkah control, hazards yang ada di tempat kerja, dan dampak yang
muncul pada karyawan yang terpajan.
Dengan
melakukan proses HRA ini seperti di atas, maka risiko-risiko kesehatan dapat
diidentifikasi, dikendalikan, dan ditanggulangi jauh sebelum memunculkan dampak
yang merugikan kesehatan pekerja. Karena penyakit akibat kerja akan
menghasilkan kecacatan menetap yang sulit disembuhkan dan mengganggu fungsi
social pekerja dalam jangka panjang.
II.
Risk of Heat stress ( Risiko dari Tekanan Panas )
Tekanan Panas memerlukan upaya tambahan pada
anggota tubuh untuk memelihara keseimbangan panas. Menurut Pulat 1992 dalam
Tarwaka 2002, dalam Hikmah 2008, bahwa reaksi fisiologis tubuh (heat strain)
oleh karena peningkatan temperature udara diluar comfort zone adalah sebagai
berikut :
a. Vasodilatasi
b. Denyut
Jantung Meningkat
c. Temperatur
kulit meningkat
d. Suhu
inti tubuh pada awalnya turun kemudian meningkat dan lain-lain.
Selanjutnya apabila pemaparan terhadap tekanan
panas terus berlanjut, maka
risiko terjadi gangguan kesehatan juga akan meningkat. Menurut Graham dan
Bernard dalam Hikmah 2008 reaksi fisiologis akibat pemaparan panas yang
berlebihan dapat dimulai dari gangguan fisiologis yang sangat sederhana sampai
dengan terjadinya penyakit yang serius. Pemaparan tekanan panas juga dapat
menyebabkan penurunan berat badan.
Secara
lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan suhu lingkungan kerja panas
yang dapat dijelaskan sebagai berikut.:
a. Gangguan
perilaku dan performasi kerja, seperti terjadinya kelelahan,sering melakukan
istirahat curian bahkan bisa stress
b. Dehidrasi,
yaitu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan yang disebabkan oleh pergantian
cairan yang tidak cukup maupun karena gangguan kesehatan
c. Heat
Rash, keadaan seperti biang keringat atau keringat buntat, gatal kulit akibat
kondisi kulit yang terus basah. Pada kondisi demikian pekerja perlu
beristirahat pada tempat yang lebih sejuk dan menggunakan bedak penghilang
keringat.
d. Heat
cramps, merupakan kejang otot tubuh (tangan dan kaki ) akibat keluarnya
keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari tubuh yang kemungkinan
besar disebabkan karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium.
e. Head
syncope/ fainting, keadaan ini disebabkan karena lairan darah ke otak tidak
cukup karena sebagian besar aliran darah dibawah ke permukaan kulit atau
perifer yang disebabkan karena pemaparan terlalu tinggi.
f. Heat Exhaustion. Keadaan ini terjadi apabila tubuh kehilangan terlalu banyak
cairan dan atau kehilangan garam. Gejalanya mulut kering, sangat haus, lemah
dan sangat lelah. Gangguan ini biasanya banyak dialami oleh pekerja yang belum
beraklimatisasi terhadap suhu udara panas.
III. Health Hazard Control ( Teknik Pengendalian Lingkungan Kerja Panas )
Teknik
Pengendalian Lingkungan Kerja Panas di bagi menjadi tiga yaitu : pengendalian
secara teknik, administratif dan penggunaan alat pelindung diri.
a.
Pengendalian
secara Teknik
Pengukuran suhu bola atau suhu radiasi
di dapatkan dari tempat kerja dapat dilihat dari alat monitoring heat stress
yang kemudian di analisa, secara teknik pengedalian Lingkungan kerja panas
dapat dilakukan dengan Pengadaan ventilasi umum diharapkan panas yang menyebar
secara radiasi, konduksi dan konveksi ke seluruh ruang kerja dapat mengalir
keluar dimana suhu udaranya lebih rendah. Tetapi panas yang terjadi secara
terus menerus dan kontinyu, sehingga pengadaan ventilasi umum dirasakan kurang.
Untuk itu perusahaan membuat fan dengan tujuan mengalirkan panas secara
konveksi ke tempat dengan suhu udara yang lebih rendah. Hal ini bisa dilihat.
Sebenarnya pemasangan fan dengan radiasi panas yang tinggi dapat
membahayakan kesehatan tenaga kerja, karena radiasi panas dari sumber panas
akan langsung terkena tenaga kerja yang dapat menyebabkan efek kesehatan bagi
tenaga kerjanya. Sebaiknya perusahaan mem buat exhaust fan, dimana panas
dari lingkungan kerja ditarik keluar ke lingkungan dengan suhu yang lebih
rendah. Sehingga pengendalian secara teknik yang perlu dilakukan adalah
penambahan ventilasi umum, memperlebar ventilasi umum,
Penggunaan penyekat ( shielding ) terutama untuk mengurangi panas radiasi. Isolasi
perubahan tempat perubahan desain atau substitusi peralatan atau proses untuk
menurunkan panas. Pemasangan
exhaust fan dan pemasangan dust collector. Ventilasi keluar setempat (local
exhaust ventilation) untuk mengeluarkan sejumlah panas dari lingkungan kerja.Pelepasan
udara dingin dengan menggunakan alat pendingin untuk menurunkan suhu penyediaan
udara.
b.
Pengendalian
secara Administratif
Lingkungan
kerja yang panas membutuhkan tenaga kerja yang fit, kesegaran jasmani baik, status
kesehatan baik dan status gizi baik. Berdasar data yang didapat bahwa tenaga
kerja yang bekerja tidak di periksa kesehatannya saat baru masuk kerja.
Sebaiknya pemeriksaan kesehatan awal diberikan terhadap tenaga kerja yang baru
masuk agar tenaga kerja sesuai dengan pekerjaannya (the right man on the
right job). Organisasi ketenagakerjaan di perusahaan tersebut telah
terbentuk yaitu P2K3 (Panitia Pembina Kese lamatan Dan Kesehatan Kerja) dan
SPSI. Organisasi ini dibentuk berdasarkan komitmen direktur terhadap tenaga
kerjanya . P2K3 diketuai oleh direktur dengan anggota para tenaga kerja. Dengan
adanya organisasi ini diharapkan masalah yang berhubungan dengan K3 dapat
diatasi.
Sehingga
pengendalian secara administratif yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
kesehatan berkala, poliklinik dibuka selama 7 hari/minggu, dokter perusahaan
hadir paruh waktu (3 hari/minggu), paramedis hadir penuh waktu, tenaga kerja
ikut menjadi peserta Jamsostek (JKK, JK, JHT, JPK) , jam kerja selama 8
jam/hari atau 40 jam/minggu, jam istirahat selama 1 jam/hari, adanya organisasi
P2K3 dan SPSI, tenaga kerja mendapat makan dan minum berkaitan dengan tempat
kerja yang panas , perusahaan memiliki ruang makan untuk tenaga kerja, kamar
mandi sebanyak 6 buah untuk pria dan sebuah untuk wanita dengan jumlah tenaga
kerja keseluruhan 470 tenaga kerja pria dan 13 wanita.
c.
Pengadaan
alat pelindung diri (APD)
Pengadaan
alat pelindung diri (APD) dirasakan kurang. Helm sebaiknya harus diberi bila
ada kerusakan, tidak hanya diberi 1 saja selam tenaga kerja bekerja di
perusahaan tersebut. Masker penutup hidung dan mulut sebaiknya diberi setiap
hari. Masker yang terbuat dari kain serap akan cepat lusuh dan rusak bila
dipakai seharian apalagi perusahaan tersebut menghasilkan debu. Demikian pula
dengan sepatu dan pakaian kerja. Khususnya sepatu kerja sebaiknya diberi saat
tenaga kerja tersebut mengeluh sepatunya rusak akibat adanya letikan api dari
peleburan metal. Pemberian APD hendaknya diberi konsisten dan konsekuen agar
tenaga kerja terhindar dari bahaya di tempat kerja. Pemberian pakaian kerja
setiap enam bulan sekali
Kini semakin disadari bahwa cuaca kerja penting artinya bagi
kesejahteraan dan produktivitas tenaga kerja. Suhu nyaman merupakan suatu
daerah di mana tenaga kerja berada pada kondisi Termonetral, yaitu tidak ada
rasa panas atau rasa dingin. Pengalaman yang disepakati oleh para ahli di
Indonesia menyatakan bahwa daerah cuaca nyaman seperti itu adalah 24 – 26 0C
suhu kering. Juga perbedaan di antara suhu di dalam dan di luar ruangan
sebaiknya tidak melebihi 5 0C ( Suma’mur,1989 dalam wahyu,
Atjo).
Tekanan panas yang berlebihan di lingkungan kerja akan
menjadi beban tambahan yang harus diperhatikan dan diperhitungkan, makin tinggi
panas lingkungan akan semakin besar pula pengaruhnya terhadap suhu tubuh atau
sebaliknya. Hal tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan apabila tidak
dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap lingkungan kerja dan para
pekerjanya.
Olehnya itu, disarankan bahwa sebaiknya di tempat kerja
dilaksanakan pemberian air minum, minimal 0,5 liter/jam pada pekerja yang
bekerja di tempat yang panas, penambahan larutan elektrolit, pemberian makanan
yang bergizi seimbang serta mudah dicerna, pemasangan alat untuk pengukuran
kelembaban, suhu (fan/AC), dan lain sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardyanto ,Denny. 2005. Potret
Iklim Kerja JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL.1, NO.2 FKM UNAIR :
Surabaya
Ridha, Hikmah S.2008. Upaya Pengendalian Efek Fisiologis Akibat Heat
stress pada pekerja Industri Kerupuk. Thesis FKM USU: Sumatera Utara
Sarwono,
Agung.2011. Health Risk Asessment. http://agungsarono.wordpress.com
Wahyu, Atjo . 2003. Higiene Perusahaan, Makassar : Jurusan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja FKM Unhas.
Tarwaka,dkk. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan
Produktivitas, Surakarta : UNIBA Press.