Selasa, 20 Maret 2012

HEALTH HAZARD HEAT STRESS CONTROL


TUGAS HYGIENE INDUSTRI

HEALTH HAZARD HEAT STRESS CONTROL


DISUSUN OLEH

RENY SYIAMSIATUN
NIM. 2010 31 208

  
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
UNIVERSITAS  ESA UNGGUL
JAKARTA
2012


KATA PENGANTAR


Puji Syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Hygiene Industri yang berjudul HEALTH HAZARD HEAT STRESS CONTROL.

Penulisan Tugas ini ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi tugas online Hygiene Industri. Saya Menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit dalam menyelesaikan tugas ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada :

  •      Bapak Idrus Jus’at PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul
  •      Ibu Intan Silvana Mustika, MPH selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
  •    Bapak Latar M. Arief, MSc, selaku Dosen mata kuliah Hygiene Industri fakultas Kesehatan Masyarakat jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Industri


Akhir kata, saya berharap kepada ALLAH SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang membantu. Semoga Tugas ini bisa bermanfaat untuk saya khususnya dan teman-teman saya pada mata kulian ini.



                                                                                                          Jakarta, Maret 2012


                                                                                                                       Penulis

BAB I
PENDAHULUAN


          Tekanan Panas atau Heat stress adalah batasan kemampuan penerimaan panas yang diterima pekerja dari kontribusi kombinasi metabolism tubuh akibat melakukan pekerjaan dan factor lingkungan ( seperti temperature udara, kelembaban, pergerakan udara, dan radiasi perpindahan panas) dan pakaian yang digunakan. Keadaan heat stress ringan atau sedang dapat menyebabkan rasa tidak nyaman, dan berakibat buruk terhadap penampilan kerja dan keselamatan, meskipun hal ini tidak menimbulkan kerugian dalam hal kesehatan pekerja.
        Pada saat heat stress mendekati batas toleransi tubuh, resiko terjadinya kelainan kesehatan menyangkut panas akan meningkat. (ACGIH, 2001)
        Menurut Worksafe BC (2007) banyak variabel yang berkontribusi terhadap terjadinya heat stress, yaitu :
a.    Lingkungan yang terdiri atas temperatur udara, pergerakan udara, kelembaban, dan radiasi panas
b.    Pekerja, termasuk terjadinya aklitimasi, jumlah cairan, pakaian, dan keadaan kesehatan pekerja
c.    Pekerja, berupa beban kerja, waktu kerja. Untuk mencegah terjadinya heat stress, pekerja dan majikan harus mampu mengidentifikasi semua sumber panas dan memahami bagaiman tubuh memindahkan panas.
        OSHA (Occupational Safety & Health Administration) dalam Techical Manual nya mengatakan pekerjaan yang menyangkut temperatur udara yang tinggi, radiasi sumber panas, kelembaban yang tinggi, kontak fisik langsung dengan objek panas, atau aktifitas fisik yang berat memiliki potensi tinggi dalam menimbulkan heat stress pada pekerja yang terlibat dalam kegiatan kerja tersebut, seperti pada pekerjaan pengecoran besi, pengecoran logam lain, pembakaran batu bata dan keramik, pabrik gelas atau kaca, pabrik pengolahan bahan karet, perlengkapan listrik, dapur, pabrik gula-gula, oven, pengalengan makanan, dapur komersil, binatu, peleburan, dan lain-lain.   Selama aktivitas pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan dengan menyeimbangkan antara panas yang diterima luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Menurut Suma’mur (1984) dan Priatna (1990) dalam Tarwaka(2004) bahwa suhu tubuh manusia dipertahankan hamper menetap oleh suatu pengaturan suhu. Suhu menetep ini dapat dipertahankan akibat keseimbangan diantara panas yang dihasilkan dari metabolisme tubuh dan pertukaran panas diantara tubuh dan lingkungan sekitarnya.
        Menurut Bernard (1991) Tarwaka 2004, dalam  Hikmah (2008) produksi panas di dalam tubuh tergantung dari kegiatan fisik tubuh, makanan gangguan system pengaturan panas seperti dalam kondisi demam dan lain-lain. Selanjutnya factor-faktor yang menyebabkan pertukaran panas diantara tubuh dan lingkungan sekitarnya adalah panas konduksi, panas konveksi, panas radiasi, dan panas penguapan.

BAB II
HEALTH HAZARD HEAT STRESS CONTROL

I.       Risk Assesment ( Penilaian resiko iklim kerja panas di tempat kerja )

Manajemen risiko K3. Risiko K3 sendiri muncul dari adanya hazards. Hazard(s) didefinisikan sebagai “source, situation, or act with a potential for harm in terms of human injury or ill health, or a combination of these”. Dari definisi ini juga terlihat bahwa risiko yang dimanage termasuk risiko kesehatan (risiko terhadap terjadinya ‘ill health’). Ill health sendiri didefinisikan sebagai “identifiable, adverse physical or mental condition arising from and/or made worse by a work activity and/or work-related situation”. Dalam konteks ini maka risiko yang dibahas adalah potensi penyakit yang muncul akibat pekerjaan atau yang dipengaruhi oleh faktor pekerjaan.
Namun sayangnya, dalam proses hazard identification and risk assessment, risiko kesehatan masih menjadi anak tiri. Misalnya saja ketika melakukan HIRA mengenai pengoperasian mesin pemotong rumput, maka risiko yang diidentifikasi akan berfokus kepada terkena blade, terpantul kerikil. Namun jarang yang mengidentifikasi risiko munculnya gangguan neuromuscular pada tangan akibat hazard: hand arm vibration; atau munculnya hearing loss akibat hazard: noise.
Pada dasarnya Health Risk Assessment (HRA) secara konsep sama dengan HIRA Safety secara umum. Jadi dengan menilai kombinasi likelihood dan consequence suatu potensi ill health yang diakibatkan oleh suatu hazard. Yang membedakannya hanyalah pendekatan terhadap hazards. Dalam safety, hazards muncul dari faktor elektrik, mekanis, kinetis, dll. Sedangkan aspek kesehatan hazards dilihat sebagai faktor fisika, biologi, kimia, ergonomic, dan psikososial. Kemudian dalam pendekatan terhadap risiko potensi yang terjadi pada safety, yang diidentifikasi adalah ‘cedera atau injury’ yang muncul bersifat akut sedangkan pada kesehatan, yang diidentifikasi adalah ‘gangguan fungsi atau munculnya suatu penyakit’ sehingga lebih bersifat ‘long-term’.
Pada HRA, memang dibutuhkan satu hal yang lebih spesifik yaitu kemampuan menilai ‘proses interaksi antara manusia dengan alat, material, dan lingkungannya’. Pada HRA prosesnya dimulai dengan melakukan ‘desk study’ terhadap proses kerja yang ada di tempat kerja. Pada tahap ini assessor melakukan identifikasi yang bersifat‘forecast’ terhadap pekerjaan yang ada di tempat kerja. Assessor melakukan document review termasuk terhadap blueprint fasilitas, prosedur kerja, dan material safety data sheet atas bahan-bahan yang dipakai. Fase ini dikenal juga sebagai tahap ‘anticipation’. Tahap berikutnya adalah melakukan ‘recognition’  di tempat kerja untuk melakukan identifikasi dan konfirmasi atas hazard yang diidentifikasi pada fase sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan melakukan ‘walk trough survey’ di tempat kerja dengan melakukan penelusuran secara sistematik di tempat kerja. Pada kondisi ini, assessor harus mengidentifikasi :
(1)    ‘what’-apa saja hazard yang ada di tempat kerja,
(2)    ‘who’-siapa saja yang terpapar hazard ini,
(3)    ‘when’-kapan dan seberapa lama paparan dapat terjadi,
(4)    ‘where’- dimana bahaya muncul dan dimana paparan akan terjadi
(5)    ‘how’- bagaimana paparan itu terjadi
Kemudian tahap berikutnya adalah melakukan ‘evaluasi’ terhadap risiko dengan menilai nilai ambang batas. Penilaian bisa dilakukan dengan cara langsung yaitu mengukur terhadap ‘dose’ hazard yang diterima personel dengan alat ukur, atau dengan cara matematis yaitu dengan melakukan perhitungan berdasarkan NAB yang telah ditetapkan.
Setelah melakukan hal ini dilakukan maka langkah berikutnya adalah tahap menentukan langkah-langkah pengendalian dan penanggulangan yang akan dijalankan. Pendekatannya dapat menggunakan hirarki control sebagaimana pada HIRA Safety yaitu: Eliminasi, Substitusi, Engineering, Administration, dan PPE. Namun fokusnya diarahkan kepada tiga hal yaitu:
(1)    Pengendalian di tempat asal hazard (‘source’)
(2)    Pengendalian di jalur atau mode paparan (‘exposure’)
(3)    Pengendalian pada orang yang terpajan (‘host’)
Setelah melakukan hal ini langkah berikutnya dalah dengan melakukan komunikasi dan konsultasi hasil HRA ini kepada semua pihak terkait dengan focus kepada bagaiaman pekerja mengenali bahaya ini, risiko apa yang dihadapi, dan bagaimana cara penanganannya. Proses komunikasi dapat dilakukan dengan menempatkan rambu dan marka, label dan tanda terkait dengan bahaya dan risiko ini.
Kemudian langkah terakhir adalah dengan melakukan monitor dan review terhadap pelaksanaan langkah control, hazards yang ada di tempat kerja, dan dampak yang muncul pada karyawan yang terpajan.
Dengan melakukan proses HRA ini seperti di atas, maka risiko-risiko kesehatan dapat diidentifikasi, dikendalikan, dan ditanggulangi jauh sebelum memunculkan dampak yang merugikan kesehatan pekerja. Karena penyakit akibat kerja akan menghasilkan kecacatan menetap yang sulit disembuhkan dan mengganggu fungsi social pekerja dalam jangka panjang.


II.   Risk of Heat stress ( Risiko dari Tekanan Panas )

     Tekanan Panas memerlukan upaya tambahan pada anggota tubuh untuk memelihara keseimbangan panas. Menurut Pulat 1992 dalam Tarwaka 2002, dalam Hikmah 2008, bahwa reaksi fisiologis tubuh (heat strain) oleh karena peningkatan temperature udara diluar comfort zone adalah sebagai berikut :
a.    Vasodilatasi
b.    Denyut Jantung Meningkat
c.    Temperatur kulit meningkat
d.    Suhu inti tubuh pada awalnya turun kemudian meningkat dan lain-lain.
Selanjutnya apabila pemaparan terhadap tekanan panas terus berlanjut, maka risiko terjadi gangguan kesehatan juga akan meningkat. Menurut Graham dan Bernard dalam Hikmah 2008 reaksi fisiologis akibat pemaparan panas yang berlebihan dapat dimulai dari gangguan fisiologis yang sangat sederhana sampai dengan terjadinya penyakit yang serius. Pemaparan tekanan panas juga dapat menyebabkan penurunan berat badan.
          Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan suhu lingkungan kerja panas yang dapat dijelaskan sebagai berikut.:
a.    Gangguan perilaku dan performasi kerja, seperti terjadinya kelelahan,sering melakukan istirahat curian bahkan bisa stress
b.    Dehidrasi, yaitu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan yang disebabkan oleh pergantian cairan yang tidak cukup maupun karena gangguan kesehatan
c.    Heat Rash, keadaan seperti biang keringat atau keringat buntat, gatal kulit akibat kondisi kulit yang terus basah. Pada kondisi demikian pekerja perlu beristirahat pada tempat yang lebih sejuk dan menggunakan bedak penghilang keringat.
d.    Heat cramps, merupakan kejang otot tubuh (tangan dan kaki ) akibat keluarnya keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari tubuh yang kemungkinan besar disebabkan karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium.
e.    Head syncope/ fainting, keadaan ini disebabkan karena lairan darah ke otak tidak cukup karena sebagian besar aliran darah dibawah ke permukaan kulit atau perifer yang disebabkan karena pemaparan terlalu tinggi.
f.     Heat Exhaustion. Keadaan ini terjadi apabila tubuh kehilangan terlalu banyak cairan dan atau kehilangan garam. Gejalanya mulut kering, sangat haus, lemah dan sangat lelah. Gangguan ini biasanya banyak dialami oleh pekerja yang belum beraklimatisasi terhadap suhu udara panas.

III.       Health Hazard Control (  Teknik Pengendalian Lingkungan Kerja Panas )

Teknik Pengendalian Lingkungan Kerja Panas di bagi menjadi tiga yaitu : pengendalian secara teknik, administratif dan penggunaan alat pelindung diri.
a.     Pengendalian secara Teknik
Pengukuran suhu bola atau suhu radiasi di dapatkan dari tempat kerja dapat dilihat dari alat monitoring heat stress yang kemudian di analisa, secara teknik pengedalian Lingkungan kerja panas dapat dilakukan dengan Pengadaan ventilasi umum diharapkan panas yang menyebar secara radiasi, konduksi dan konveksi ke seluruh ruang kerja dapat mengalir keluar dimana suhu udaranya lebih rendah. Tetapi panas yang terjadi secara terus menerus dan kontinyu, sehingga pengadaan ventilasi umum dirasakan kurang. Untuk itu perusahaan membuat fan dengan tujuan mengalirkan panas secara konveksi ke tempat dengan suhu udara yang lebih rendah. Hal ini bisa dilihat. Sebenarnya pemasangan fan dengan radiasi panas yang tinggi dapat membahayakan kesehatan tenaga kerja, karena radiasi panas dari sumber panas akan langsung terkena tenaga kerja yang dapat menyebabkan efek kesehatan bagi tenaga kerjanya. Sebaiknya perusahaan mem buat exhaust fan, dimana panas dari lingkungan kerja ditarik keluar ke lingkungan dengan suhu yang lebih rendah. Sehingga pengendalian secara teknik yang perlu dilakukan adalah penambahan ventilasi umum, memperlebar ventilasi umum, Penggunaan penyekat ( shielding ) terutama untuk mengurangi panas radiasi. Isolasi perubahan tempat perubahan desain atau substitusi peralatan atau proses untuk menurunkan panas. Pemasangan exhaust fan dan pemasangan dust collector. Ventilasi keluar setempat (local exhaust ventilation) untuk mengeluarkan sejumlah panas dari lingkungan kerja.Pelepasan udara dingin dengan menggunakan alat pendingin untuk menurunkan suhu penyediaan udara.

b.    Pengendalian secara Administratif
Lingkungan kerja yang panas membutuhkan tenaga kerja yang fit, kesegaran jasmani baik, status kesehatan baik dan status gizi baik. Berdasar data yang didapat bahwa tenaga kerja yang bekerja tidak di periksa kesehatannya saat baru masuk kerja. Sebaiknya pemeriksaan kesehatan awal diberikan terhadap tenaga kerja yang baru masuk agar tenaga kerja sesuai dengan pekerjaannya (the right man on the right job). Organisasi ketenagakerjaan di perusahaan tersebut telah terbentuk yaitu P2K3 (Panitia Pembina Kese lamatan Dan Kesehatan Kerja) dan SPSI. Organisasi ini dibentuk berdasarkan komitmen direktur terhadap tenaga kerjanya . P2K3 diketuai oleh direktur dengan anggota para tenaga kerja. Dengan adanya organisasi ini diharapkan masalah yang berhubungan dengan K3 dapat diatasi.
Sehingga pengendalian secara administratif yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kesehatan berkala, poliklinik dibuka selama 7 hari/minggu, dokter perusahaan hadir paruh waktu (3 hari/minggu), paramedis hadir penuh waktu, tenaga kerja ikut menjadi peserta Jamsostek (JKK, JK, JHT, JPK) , jam kerja selama 8 jam/hari atau 40 jam/minggu, jam istirahat selama 1 jam/hari, adanya organisasi P2K3 dan SPSI, tenaga kerja mendapat makan dan minum berkaitan dengan tempat kerja yang panas , perusahaan memiliki ruang makan untuk tenaga kerja, kamar mandi sebanyak 6 buah untuk pria dan sebuah untuk wanita dengan jumlah tenaga kerja keseluruhan 470 tenaga kerja pria dan 13 wanita.
c.     Pengadaan alat pelindung diri (APD)
Pengadaan alat pelindung diri (APD) dirasakan kurang. Helm sebaiknya harus diberi bila ada kerusakan, tidak hanya diberi 1 saja selam tenaga kerja bekerja di perusahaan tersebut. Masker penutup hidung dan mulut sebaiknya diberi setiap hari. Masker yang terbuat dari kain serap akan cepat lusuh dan rusak bila dipakai seharian apalagi perusahaan tersebut menghasilkan debu. Demikian pula dengan sepatu dan pakaian kerja. Khususnya sepatu kerja sebaiknya diberi saat tenaga kerja tersebut mengeluh sepatunya rusak akibat adanya letikan api dari peleburan metal. Pemberian APD hendaknya diberi konsisten dan konsekuen agar tenaga kerja terhindar dari bahaya di tempat kerja. Pemberian pakaian kerja setiap enam bulan sekali
Kini semakin disadari bahwa cuaca kerja penting artinya bagi kesejahteraan dan produktivitas tenaga kerja. Suhu nyaman merupakan suatu daerah di mana tenaga kerja berada pada kondisi Termonetral, yaitu tidak ada rasa panas atau rasa dingin. Pengalaman yang disepakati oleh para ahli di Indonesia menyatakan bahwa daerah cuaca nyaman seperti itu adalah 24 – 26 0C suhu kering. Juga perbedaan di antara suhu di dalam dan di luar ruangan sebaiknya tidak melebihi 5 0C   ( Suma’mur,1989 dalam wahyu, Atjo).


Tekanan panas yang berlebihan di lingkungan kerja akan menjadi beban tambahan yang harus diperhatikan dan diperhitungkan, makin tinggi panas lingkungan akan semakin besar pula pengaruhnya terhadap suhu tubuh atau sebaliknya. Hal tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan apabila tidak dilakukan upaya pencegahan dan pengendalian terhadap lingkungan kerja dan para pekerjanya.
Olehnya itu, disarankan bahwa sebaiknya di tempat kerja dilaksanakan pemberian air minum, minimal 0,5 liter/jam pada pekerja yang bekerja di tempat yang panas, penambahan larutan elektrolit, pemberian makanan yang bergizi seimbang serta mudah dicerna, pemasangan alat untuk pengukuran kelembaban, suhu (fan/AC), dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Ardyanto ,Denny. 2005.  Potret Iklim Kerja JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, VOL.1, NO.2 FKM UNAIR : Surabaya

Ridha, Hikmah S.2008. Upaya Pengendalian Efek Fisiologis Akibat Heat stress pada pekerja Industri Kerupuk. Thesis FKM USU: Sumatera Utara

Sarwono, Agung.2011. Health Risk Asessment. http://agungsarono.wordpress.com

Wahyu, Atjo . 2003. Higiene Perusahaan, Makassar : Jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM Unhas.

Tarwaka,dkk. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas, Surakarta : UNIBA Press.